Pengertian Bid'ah dan Apakah Semua Bid’ah itu Sesat?
Bid'ah adalah suatu perbuatan yang tidak dijumpai di masa Rasulullah SAW. Tidak semua bid‘ah itu adalah dhalalah (sesat). Karena banyak macam-macam ibadah yang masuk dalam kategori perintah Rasulullah SAW akan tetapi tidak terlaksana pada zamannya, seperti pembacaan maulid, membaca dzikir bersama-sama, membuat tabligh akbar, adanya pesantren-pesantren dan lain sebagainya, yang mana semua itu merupakan suatu hal yang baru yang tidak ada dan tidak terjadi pada zaman Rasulullah SAW akan tetapi masuk ke dalam kategori sunnah Nabi.
Hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan di Shahih Bukhari sebagai berikut.
وقوله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "وكل بدعة ضلالة" وهو من العام الذي أريد به الخاص بدليل قوله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ المخرج في "الصحيح": "من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد". وقد ثبت عن الإمام الشافعي قوله: المحدثات من الأمور ضربان أحدهما: ما أحدث يخالف كتاباً أو سنة أو أثراً أو إجماعاً، فهذه البدعة الضلالة. وما أحدث من الخير لا خلاف فيه لواحد من هذا، فهذه محدثة غير مذمومة. رواه البيهقي في "المدخل".
Artinya, “Ucapan Rasulullah SAW ‘Setiap bid‘ah itu sesat’ secara bahasa berbentuk umum, tapi maksudnya khusus seperti keterangan hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan dalam Shahih Bukhari, ‘Siapa saja yang mengada-ada di dalam urusan kami yang bukan bersumber darinya, maka tertolak’. Riwayat kuat menyebutkan Imam Syafi’i berkata, ‘Perkara yang diada-adakan terbagi dua. Pertama, perkara baru yang bertentangan dengan Al-Quran, Sunah Rasul, pandangan sahabat, atau kesepakatan ulama, ini yang dimaksud bid‘ah sesat. Kedua, perkara baru yang baik-baik tetapi tidak bertentangan dengan sumber-sumber hukum tersebut, adalah bid‘ah yang tidak tercela,’” (Lihat Al-Baihaqi dalam Al-Madkhal, Halaman 206).
Imam Syafi’i dalam keterangan di atas jelas membuat polarisasi antara bid‘ah yang tercela menurut syara’ dan bid‘ah yang tidak masuk kategori sesat. Pandangan Imam Syafi’i kemudian dipertegas oleh ulama Madzhab Hanbali, Ibnu Rajab Al-Hanbali sebagai berikut.
وقال الحافظ ابن رجب الحنبلي: والمرادُ بالبدعة: ما أحدث مما لا أصل له في الشريعة يَدُل عليه، أما ما كان له أصل من الشرع يدل عليه، فليس ببدعة شرعاً، وإن كان بدعة لغة.
Artinya, “Ibnu Rajab Al-Hanbali mengatakan, ‘Yang dimaksud bid‘ah sesat itu adalah perkara baru yang tidak ada sumber syariah sebagai dalilnya. Sedangkan perkara baru yang bersumber dari syariah sebagai dalilnya, tidak termasuk kategori bid‘ah menurut syara’/agama meskipun masuk kategori bid‘ah menurut bahasa,’” (Lihat Ibnu Rajab Al-Hanbali pada Syarah Shahih Bukhari).
Perihal hadits Rasulullah SAW itu, Guru Besar Hadits dan Ulumul Hadits Fakultas Syariah Universitas Damaskus Syekh Mushtofa Diyeb Al-Bugha membuat catatan singkat berikut ini.
(أحدث) اخترع. (أمرنا هذا) ديننا هذا وهو الإسلام. (ما ليس فيه) مما لا يوجد في الكتاب أو السنة ولا يندرج تحت حكم فيهما أو يتعارض مع أحكامها وفي بعض النسخ (ما ليس منه). (رد) باطل ومردود لا يعتد به]
Artinya, “Siapa saja yang mengada-ada (membuat hal baru) di dalam urusan (agama) kami (agama Islam) yang bukan bersumber darinya (tidak terdapat dalam Al-Quran atau sunah, tidak berlindung di bawah payung hukum keduanya atau bertolak belakang dengan hukumnya), maka tertolak (batil, ditolak, tidak diperhitungkan),’ (Lihat Ta’liq Syekh Mushtofa Diyeb Al-Bugha pada Jamius Shahih Al-Bukhari, Daru Tauqin Najah, Cetakan Pertama 1422 H, Juz IX).
Izzuddin Abdul Aziz bin Abdussalam, ulama madzhab Syafi’i abad 7 H kemudian membuat rincian lebih detail perihal bid‘ah beserta contohnya seperti keterangan sebagai berikut.
الْبِدْعَةُ فِعْلُ مَا لَمْ يُعْهَدْ فِي عَصْرِ رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -. وَهِيَ مُنْقَسِمَةٌ إلَى: بِدْعَةٍ وَاجِبَةٍ، وَبِدْعَةٍ مُحَرَّمَةٍ، وَبِدْعَةٍ مَنْدُوبَةٍ، وَبِدْعَةٍ مَكْرُوهَةٍ، وَبِدْعَةٍ مُبَاحَةٍ، وَالطَّرِيقُ فِي مَعْرِفَةِ ذَلِكَ أَنْ تُعْرَضَ الْبِدْعَةُ عَلَى قَوَاعِدِ الشَّرِيعَةِ: فَإِنْ دَخَلَتْ فِي قَوَاعِدِ الْإِيجَابِ فَهِيَ وَاجِبَةٌ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِي قَوَاعِدِ التَّحْرِيمِ فَهِيَ مُحَرَّمَةٌ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِي قَوَاعِدِ الْمَنْدُوبِ فَهِيَ مَنْدُوبَةٌ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِي قَوَاعِدِ الْمَكْرُوهِ فَهِيَ مَكْرُوهَةٌ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِي قَوَاعِدِ الْمُبَاحِ فَهِيَ مُبَاحَةٌ، وَلِلْبِدَعِ الْوَاجِبَةِ أَمْثِلَةٌ.
Artinya: “Bid‘ah adalah suatu perbuatan yang tidak dijumpai di masa Rasulullah SAW. Bid‘ah itu sendiri terbagi atas bid‘ah wajib, bid‘ah haram, bid‘ah sunah, bid‘ah makruh, dan bid‘ah mubah. Metode untuk mengategorisasinya adalah dengan cara menghadapkan perbuatan bid‘ah yang hendak diidentifikasi pada kaidah hukum syariah. Kalau masuk dalam kaidah yang menuntut kewajiban, maka bid‘ah itu masuk kategori bid‘ah wajib. Kalau masuk dalam kaidah yang menuntut keharaman, maka bid‘ah itu masuk kategori bid‘ah haram. Kalau masuk dalam kaidah yang menuntut kesunahan, maka bid‘ah itu masuk kategori bid‘ah sunah. Kalau masuk dalam kaidah yang menuntut kemakruhan, maka bid‘ah itu masuk kategori bid‘ah makruh. Kalau masuk dalam kaidah yang menuntut kebolehan, maka bid‘ah itu masuk kategori bid‘ah mubah. Bid‘ah wajib memiliki sejumlah contoh,” (Lihat Izzuddin Abdul Aziz bin Abdussalam As-Salami, Qawaidul Ahkam fi Mashalihil Anam, Darul Kutub Ilmiyah, Beirut, Cetakan kedua, Tahun 2010, Juz II, Halaman 133-134).
Oleh karena itu, haruslah kita memahami secara mendetail dan jelas tentang apakah bid’ah dan berapa macam bid’ah itu, yaitu sebagai berikut:
Kata bid’ah merupakan sesuatu yang baru terjadi dan tidak terjadi pada zaman Rasulullah SAW, tapi bid’ah itu sendiri menurut madzhab Ahlussunnah wal jamaah terbagi menjadi 3 macam berikut ini:
1. Bid’ah hasanah, yaitu yang dianggap oleh para ulama termasuk yang dibawah naungan kitab dan sunnah dari segi kemanfaatan, kebaikan maupun kemaslahatan. Yang demikian itu seperti yang dilakukan oleh para sahabat dalam mengumpulkan Al-Qur’an menjadi satu mushaf, sholat Terawih yang dikumpulkan Sayyidina Umar di masjid Nabi dengan Imam Ubay Bin Ka’ab, menertibkan mushaf seperti yang kita lihat sekarang di zaman Sayyidina Utsman Bin Affan, begitu pula menetapkan 2 adzan (adzan pertama dan adzan kedua) pada hari Jum’at sebagaimana diberlakukan pada zaman Sayyidina Utsman, penerapan hukum memerangi pemberontakan yang ditetapkan oleh Sayyidina Ali Bin Abi Thalib sebagai warisan dan ajaran daripada para imam yang 4 yang tidak lain adalah anak didik Rasulullah SAW. Itulah contoh daripada bid’ah yang dianggap bid’ah hasanah.
2. Bid’ah yang tercela dari segi kezuhudan, kewara’an, qona’ah, dan sebagainya. Seperti memperluas rumah, membeli baju-baju yang mahal, begitu pula kendaraan dan lain sebagainya yang diperbolehkan dalam agama.
3. Bid’ah sayyi’ah, yaitu yang bertentangan dengan nash Al-Qur’an dan hadits Nabi , begitu pula bertentangan dengan ijma’ para ulama. Dan yang demikian itu di zaman sekarang sangat banyak, akan tetapi sedikit terjadi di dalam furu’ syari’ah. Kalau didalam furu’ syariah itu masih ditoleransi, tetapi dilarang didalam ushul syari’ah.
Demikianlah artikel Pengertian Bid'ah dan Apakah Semua Bid’ah itu Sesat?. Semoga artikel ini bisa dipahami dengan baik. Semoga pengertian dan pembagian bid‘ah di atas dapat menurunkan intensitas kontroversi di masyarakat perihal bid‘ah. Terima kasih.
Post a Comment for "Pengertian Bid'ah dan Apakah Semua Bid’ah itu Sesat?"
Tinggalkan Komentar