Apakah Kita Harus Mempunyai Amal Jariyah?
Pengertian Amal Jariyah
Amal Jariyah adalah amalan-amalan tertentu yang akan terus mengalirkan pahala kepada pelakunya walaupun dia telah meninggal dunia.
Jika orang pandai bisa beramal jariyah
dengan ilmu atau ide-idenya, maka orang yang tidak pandai bisa beramal
jariyah dengan tenaga fisiknya untuk mengimplementasikan gagasan-gagasan
dari orang pandai tersebut. Orang-orang tua yang sudah tidak punya
harta yang cukup, tenaga fisik juga sudah lemah, gagasan-gagasan
cemerlang mungkin juga sudah sulit mereka capai, mereka sesungguhnya
masih bisa beramal jariyah dengan memberikan dorongan semangat kepada
yang muda-muda untuk menghasilkan sebuah karya monumental. Jika
memberikan dorongan semangat juga sudah tidak mampu mereka lakukan,
mereka tetap saja memiliki kesempatan beramal dengan senantiasa
mendoakan kepada Allah SWT agar sebuah karya atau program penting di
masyarakat dapat terlaksana dengan baik.
Seorang muslim hanya mempunyai 2 kesempatan, yang pertama kesempatan hidupnya dan yang dimulai dari semenjak dia mencapai batas baligh, aqil hingga meninggal, maka kesempatan yang pertama ini setiap orang dapat menggunakannya, bahkan dapat memaksimalkannya tergantung dari modal keilmuan yang dimilikinya, karena dengan ilmu seseorang dapat mengamalkan kebaikan, dengan ilmu pula seseorang dapat membedakan antara yang utama dengan yang lebih utama yang terbaik diantara yang baik.
Adapun kesempatan yang kedua dimulai dari setelah kematiannya hingga hari kebangkitan (hari kiamat). bukan semua orang dapat menggunakannya, akan tetapi hanya bagi mereka yang belajar ilmu syariat agama dan dekat kepada para ulama karena dengan begitu dia tidak akan menyia-nyiakannya, sebab hal itu merupakan sebuah investasi yang sangat bermanfaat baginya kelak untuk akhiratnya karena pada kesempatan kedua itu setiap muslim tidak dapat menggunakannya kecuali pada masa hidupnya, sebab ketika seorang muslim meninggal dunia, putuslah segala macam amal-amal kebaikannya, sehingga tidak ada aliran pahala lagi untuknya yang akan tercatat dalam buku amalnya,
kecuali jika dia mempersiapkan hal itu pada masa hidupnya, yaitu berupa amal jariyah yang akan terus mengalirkan pahala baginya hingga hari kiamat, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW :
عن أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا مَاتَ إِبْنُ آدَمَ إِنْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ: صَدَقَةٌ جَارِيَّةٌ أَوْ عِلْمٌ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٌ صَالِحٌ يَدْعُوْ لَهُ[1]
Artinya: “Dari sahabat Abi Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda, jika telah meninggal bani adam maka akan terputuslah semua amalnya kecuali 3 perkara, yaitu shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak sholeh yang selalu mendoakan orang tuanya”.
Dengan dasar hadits tersebut, ada kesempatan kedua yang perlu disiapkan pada kesempatan pertama, yaitu dengan memperbanyak shodaqah jariyah di masa hidupnya atau menjadi seorang alim yang bermanfaat baik dengan ajarannya yang selalu diamalkan oleh para santrinya atau dengan tulisannya yang senantiasa selalu dibaca oleh setiap pembacanya, begitu pula dengan mempersiapkan seorang anak yang sholeh. Maka, 3 hal tersebut diatas adalah investasi akhirat bagi setiap muslim, jika benar-benar telah mempersiapkannya pada kesempatan yang pertama, yaitu pada masa hidupnya.
Contoh Shodaqoh Jariyah
Misal ada pertanyaan seperti ini,
apakah hanya orang kaya saja yang bisa beramal jariyah? Tentu saja
tidak. Semua orang sebenarnya memiliki kesempatan yang sama untuk dapat
beramal jariyah. Jika orang kaya bisa beramal jariyah dengan hartanya,
maka orang miskin bisa beramal jariyah dengan tenaga fisiknya, atau bisa
juga dengan harta meski tidak sebesar orang kaya.
Contohnya:
Seorang buruh bangunan yang sedang membangun sebuah masjid, misalnya,
dia tidak mendapat upah yang layak karena suatu alasan tetapi dia ikhlas
dan bahkan meniatkan kekurangan dari upahnya sebagai sumbangan
jariyahnya, maka kekurangan itu akan dicatat sebagai amal jariyah.
Tetapi tentu saja nilai sebuah amal tidak semata-mata dilihat dari
berapa besar nilai nominalnya, yang tak kalah penting adalah bobot
keikhlasan dalam beramal.
Shodaqoh jariyah tidak terhitung jumlahnya, alias banyak macamnya, yang kesimpulannya setiap shodaqoh yang dapat dirasakan manfaatnya secara berkesinambungan, seperti contoh-contoh di bawah ini:
- Menanam pohon yang berbuah.
- Mewaqafkan mushaf atau buku-buku agama.
- Membangun masjid atau mushola.
- Membangun pesantren atau madrasah.
- Membangun tempat-tempat majlis ta’lim.
- Membuka jalan yang diperlukan oleh manusia.
- Menutup jurang atau lubang, sehingga tidak membahayakan kaum muslimin.
- Menggali sumur.
- Mengalirkan sungai.
- Membangun rumah untuk musafir.
- Mewaqafkan rumah untuk para janda.
- Mewaqafkan rumah untuk para yatim, dll.
Maka, selama shodaqah jariyah tersebut diatas masih digunakan maka selama itu pula shodaqoh tersebut mengalirkan pahala bagi pelakunya.
Kesimpulannya kita sangat memerlukan kepada amal jariyah dikarenakan amal jariyah satu-satunya yang tersisa, pada kesempatan kedua yang diharapkan untuk menambah pahala dan mengurangi dosa.
Contoh Ilmu Yang Bermanfaat
Apa sebenarnya yang dimaksud dengan ilmu bermanfaat itu? Mungkin saja ada beragam jawaban atas pertanyaan itu. Tetapi intinya adalah ilmu yang bisa memberikan manfaat kepada diri sendiri maupun orang lain untuk mencapai keselamatan dunia dan akherat. Tentu saja ilmu seperti ini tak lain adalah ilmu agama karena hanya ilmu agamalah yang memberikan manusia petunjuk bagaimana beriman kepada Allah SWT dan melaksanakan apa yang diperintahkan serta meninggalkan apa yang dilarang-Nya. Oleh karena itu setiap orang wajib hukumnya belajar ilmu agama. Dengan kata lain, belajar ilmu agama hukumnya fardhu ain. Di luar itu hukumnya fardhu kifayah yang tentu saja juga mendapatkan pahala mempelajarinya.
Keharusan mencari ilmu dapat kita lihat dalilnya pada Hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan dari Anas bin Malik:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِم
Artinya: “Mencari ilmu hukumnya wajib bagi setiap orang Islam.”
Namun demikian, tidak berarti bahwa seseorang secara otomatis telah memiliki ilmu yang bermanfaat ketika ia telah mendapatkan ilmu agama yang luas. Justru letak kemanfaatan ilmu ada pada pengamalannya. Seseorang yang memiliki ilmu agama tapi tidak diamalkan maka akan menjadi bumerang bagi orang itu. Seseorang yang sudah mengetahui bahwa shalat lima waktu itu wajib namun tidak melakukannya secara utuh, maka dia akan mendapatkan dosa yang lebih besar dari pada mereka yang belum mengetahui hal itu.
Selain adanya keharusan mengamalkan ilmu agama yang sudah diperoleh, keharusan lain adalah menyampaikan ilmu itu kepada orang lain agar orang lain juga tahu bagaimana caranya mendapatkan keselamatan di dunia dan akherat. Seberapa pun ilmu agama kita, kita diharuskan menyampaikan ilmu itu kepada orang lain yang membutuhkannya. Kita tidak boleh menyembunyikan ilmu yang kita miliki karena ini termasuk perbuatan dosa.
Rasululllah bersabda sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Hibban:
أَلْجَمَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِلِجَامٍ مِنْ النَّارِ مَنْ كَتَمَ عِلْمًا
Artinya: "Barangsiapa yang menyembunyikan suatu ilmu yang ia ketahui maka Allah akan mengekangnya pada hari kiamat dengan kekang api neraka."
Oleh karena itu agar kita memiliki ilmu yang bermanfaat yang tidak putus pahalanya hingga akherat, maka kita harus mempelajari ilmu agama, lalu mengamalkan dan menyebarkannya sebagai aktivitas dakwah kita walaupun kita baru mampu menyampaikan satu ayat saja.
Contoh Anak Sholeh yang Selalu Mendoakan Orang Tuanya
Jika kita memiliki anak saleh yang mau dan mampu mendoakan kita agar senantiasa mendapat petunjuk, pertolongan dan ampunan dari Allah SWT, maka anak saleh ini menjadi amal kita yang pahalanya akan terus mengalir.
Tetapi pertanyaannya bisakah anak mendoakan kita kalau kita tidak membekali mereka dengan ilmu agama? Bisakah mereka berdoa memohonkan ampunan atas dosa-dosa kita kalau kita tidak pernah mengajari atau melatihnya? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu hendakanya selalu kita ajukan pada diri sendiri. Alasannya, karena kita memang membutuhkan anak-anak mendoakan kita terutama ketika kita sudah tidak bisa berdoa sebaik ketika masih hidup karena sudah berbaring di dalam kubur. Di dalam kubur tidak ada yang kita nanti, kecuali doa-doa dari yang masih hidup terutama anak turun kita sendiri. Disinilah relevansinya antara tahlil dengan doa anak untuk kedua orang tua. Untuk itulah, anak-anak harus kita ajari melakukan ritual tahlil dan melafadzkan doa-doa seperti:
اغْفِرْلِي وَلِوَالِدَيَّ وارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًارَبِّ
Artinya: “Ya Allah ya Tuhanku ampunilah aku dan kedua orang tuaku dan kasihanilah keduanya sebagaimana mereka mengasuh kami di waktu kecil.”
Kesimpulan
Dari ketiga amal di atas, amal tersebut sangat penting bagi bekal kita kelak. Khususnya yakni shadaqah jariyah, ilmu bermanfaat dan anak saleh, hendaklah menjadi perhatian kita secara serius. Jangan sampai kita terburu meninggal dunia sementara ketiga hal itu belum sempat kita persiapkan dengan baik. Apalah arti hidup ini jika kita tidak mengisinya dengan amal-amal yang kita butuhkan buahnya kelak di akherat. Hidup hanya sekali, maka jangan kita merugi untuk selamanya. Kalau hanya rugi di dunia, pasti kita bisa mencari gantinya. Tetapi kalau rugi di akhirat kita hanya bisa menyesali karena kerugian itu bisa jadi untuk selamanya. Semoga kita semua mampu meraih ketiga hal di atas. Aamin ya Robbal Alamin.
Post a Comment for "Apakah Kita Harus Mempunyai Amal Jariyah?"
Tinggalkan Komentar